Kamis, 01 Maret 2012

"Tak Akan Pernah Sempurna di Hadapan Anak & Istrinya"


Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar dulu, banyak hal yang saya inginkan tak pernah terwujud, terutama sebuah keinginan yang melibatkan sesuatu yang harus diperoleh dengan uang. yang bagi sebagian orang jumlahnya tak begitu banyak tetapi tidak demikian bagi kami. Uniknya, ayah tak pernah mengatakan ia tak punya uang dan selalu berkata “ Sabar, nanti ayah belikan, berdoa saja!”. Berkali-kali kalimat itu keluar dari mulutnya yang saya sendiri bingung apakah itu sebuah janji atau nasehat.saya merasa sanbgat penasarankenapa ayah tak tampak meluluskan permintaan saya sesegera mungkin jika ia tak mengeluh tak punya uang.

Menagih apa yang dimintakan kepada ayah lebih sering terhalang oleh jadwal tugasnya yang tak menentu. Sebagai tentara dalam satu batalyon pasukan, belum sempat ia mengabulkan permintaan saya, panggilan tugas sudah menunggu dan membawanya berbulan bulan mengembara di hutan belantara. 

Ibu yang akhirnya lebih sering memberikan pengalihan pikiran terhadap apa yang saya pinta, dari permintaan akan sebuah mainan terbaru menjadi permintaan pada Tuhan agar ayah bisa kembali kerumah dengan tubuh dan jiwanya yang masih bersatu.

Suatu kali dibawah sinar bulan yang benderang ketika anak anak lain sibuk bermain di malam libur,saya pernah meminta ayah untuk membelikan sebuah bola kaki, namun belum sempat bola itu mampir dikaki, di suatu pagi buta ayah sudah harus berangkat ke suatu tempat yang waktu berangkat dan pulangnya tak dapat dijadwalkan seperti layaknya perjalanan wisata. 

Dengan ransel hijau penuh dengan segala perlengkapan, satu tas coklat seperti sangsak tinju yang saya sendiri tak tahu apa isinya dan kilatan senjata laras panjang seolah menghapus pikiranku terhadap sebuah keinginan memiliki bola kaki yang jadi anganku beberapa hari sebelumnya.

Kali berikutnya ketika kulihat ayah sudah nampak sedikit agak lama berdiam dirumah, keinginan akan sebuah bola kaki seolah hilang lenyap dari kepala digantikan keinginan untuk memiliki sebuah game watch ayam dan telur, Sebuah kotak permainan elektronik yang siapapun memimpikannya ketika kecil dulu padahal itu hanya sebuah permainan bagaimana seekor tikus harus menangkap telur yang terus menggelinding dari kandang dan tak boleh pecah.

Lagi lagi ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala sambil mengucap kata yang sama , “Sabar dan Berdoalah!”. Malangnya tak sampai seminggu permintaan itu kuutarakan, ayah kembali pergi dari rumah dengan ransel hijau , tas coklat dan senjata laras panjangnya. Doa untuk sebuah Game watch pun berubah menjadi doa agar ia pulang dengan selamat dan berkumpul kembali dengan kami.

Keinginan demi keinginan akhirnya memang harus atau terpaksa pergi seiring dengan drama rutin kepergian ayah yang tak menentu. Keinginan akan semua impian saya itu akhirnya berubah menjadi sebentuk harapan agar ia pulang dengan selamat, membawa serta kembali nafas dalam tubuhnya yang menghembus terdengar ditelinga ketika ia memeluk kami keluarganya setelah kepergian sekian bulan lamanya demi Negara.

Suatu hari di sore yang terang setelah satu hari ayah kembali dari tugas, Ayah bertanya apakah aku sudah berdoa untuk mendapatkan apa yang aku pinta , game watch,bola kaki dan mainan lainnya selama ayah pergi?, Saya hanya menggeleng dan berkata padanya bahwa semua itu tak lagi singgah di pikiran saya, yang penting ayah bisa kembali selamat dan aku bisa tidur dalam pelukannya.

Meski seorang tentara, matanya sore itu berkaca kaca dan ia menatap saya begitu tajamnya. Sore itu juga ayah mengajak saya ke pasar minggu lalu masuk ke sebuah toko grosir disana untuk mendapatkan beberapa barang seperti jamu,obat-obatan,batu battery,odol,sabun,minyak angin dan banyak macam lainnya hingga penuh tas itu dengan berbagaimacam barang yang dibelinya.

“Untuk apa ayah?” Saya bertanya. Dan ia menjawab dengan sigap dan penuh senyum.

“Untuk persiapan kalau ayah berangkat tugas lagi,ayah akan jual di tempat tugas dan uangnya bisa membeli mainan yang kamu dan adikmu minta, selebihnya buat ibu!” jawab ayah.

Rupanya,tas coklat mirip sangsak tinju yang selalu ayah gendong ketika berangkat tugas bersama ransel hijau serta senjatanya adalah bagian dari nalurinya untuk memberikan tambahan bagi ibu dan kami untuk sedikit rejeki selain dari gaji ayah yang tak seberapa. Konsumen ayah adalah kawan-kawannya sendiri yang tak mungkin mendapatkan warung ditengah hutan untuk memperoleh barang-barang yang sepele namun sangat berguna disana.

Tak lama ketika tas coklat telah penuh, ayah menggamit lenganku menuju Toko ‘Tetap Segar’ dansemua mainan yang saya minta dariBola Kaki, Game watch hinggapapan monopoli singgah ke kedua tanganku.

Ia dengan tubuh yang sebetulnya mulai menua menngendong tas coklat mirip sangsak dibahu kanannya sambil membayar semua mainan saya dengan tumpukan uang lusuh merah dan biru. Uang dari para tentara yang terendam kadang dikubangan lumpur,pematang sawah serta tampias hujan dalam tenda-tenda.

Dulu ketika kecil,saya tak pernah mengira betapa hidup itu sangat bergantung pada apa yang kita pikirkan. Semakin kuat kita memikirkan sesuatu maka semakin kuat juga kecenderungan apa yang ada dipikiran itu akan menjadi kenyataan. Ayah mengajarkan bahwa Gaji adalah sebagian yang sangat kecil dari rejekiyang diberikan Tuhan. Ia tak punya rekening gendut atau menakuti rakyat dengan bedil dan seramnya seragam miliknya untuk menambah rejeki. 

Ayah hanya memiliki tas coklat gendut dengan segala macam isi yangmemanfaatkan selisih harga beli dan harga jual tidak lebih dan itu yang membawa kami meloloskan diri dari sebagian kesulitan yang dihadapi bersama-sama.

Peluh, keringat, jauhnya jarak, bahkan nyawa kerap tak bisa dihindari bagi beberapa pria pelindung keluarga. Dibalik kagagahan dan kegigihan kadang terselip air mata bila mengingat apa yang diminta oleh anak anaknya tak mampu dipenuhi saat itu juga, dalam kesulitan mendapatkanya hampir semua pria membenamkan permintaan itu sebagai sebuah energi yang tersimpan dan menjadikanya sebagai pemicu dan pelecut semangatnya untuk kemudian dipergunakan sebagai tenaga tambahan.

Seorang ayah memang tak akan pernah sempurna di hadapan anak anak dan istrinya, namun justru ketidak sempurnaan itulah yang menjadi jaminan ia akan melindungi anak dan istrinya untuk mencapai sebuah kesempurnaan.

Terima kasih kepada para ayah yang telah memberikan pelajaran bagi kita semua tentang arti berjuang untuk kehidupan. Dan saat ini, pelajaran itulah yang ditunggu oleh anak anak kitakarena masa kini adalah giliran kita.

Pria yang tak meluangkan waktu untuk keluarga bukanlah pria sejati. -Don Corleone - The Godfather.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar